Art Progress Caturwulan I 2024

Progress over perfection! 😉

Photo by Sincerely Media on Unsplash

Tak terasa sudah 4 bulan ya guys kita berada di tahun 2024. Saatnya melihat target awal tahun dan gimana progresnya saat ini.

Kita mulai dari mana ya.. Mungkin dari Canva ya yang paling kuantitatif.

Penghasilan Creator

Di bawah ini penghasilan setelah pajak dari bulan Januari hingga

Januari 2024 : $25.5
Februari 2024 : $61.78
Maret 2024 : $59.89
April 2024 : $47.12
——————————-
Total : $194.29
kalau dengan kurs Rp15.000 = Rp2.914.350

Rata-rata per bulan = $48,5725 = Rp728.587,5

Aku lupa di awal tahun nargetin nominal atau enggak karena aku cari-cari di planner ga ada. Menurutku ini sudah peningkatan dibanding tahun 2023 sejumlah $140.93 atau Rp2.113.950.

Melihat tren dari Februari ke Maret dan April yang grafiknya turun, aku agak worry juga sih ke depannya gimana. Semoga bisa meningkat lagi.

Output ilustrasi dan icon

Untuk yang satu ini aku sudah buat target dari awal tahun, yaitu 100 approved assets ke Canva setiap bulan.

Januari 2024 : 167 aset
Februari 2024 : 193 aset
Maret 2024 : 95 aset
April 2024 : 10 aset

April turun banget karena libur ramadan dan lebaran. Tahun depan mesti masuk perhitungan nih libur-liburan semacam ini.

Kalau kamu lihat di aset yang approved versus penghasilannya, di bulan Februari dan Maret kan naik ya 2-3 kali lipat dibanding bulan sebelumnya. Tapi turun di bulan April. Ini entah karena asetnya ga sedang tren atau gimana aku ga tau.

Sosial Media

Total dari Januari sampai April 2024 aku upload 13 postingan. Sempat agak banyak viewnya di reels terakhir di angka 1.544 views tapi abis itu aku posting gambar poster quotes cuma beberapa aja.

Aku masih belum dapet gregetnya main di video pendek semacam reels atau tiktok, loh. Jadi yang mulainya aja susah banget.

Yang aku lihat di akun-akun yang viewsnya banyak justru kayak banyak ngulang clipnya. Mereka tuh ga bikin art baru, melainkan lebih ke recycle video clips tentang art yang mereka bikin.

Aku belum biasa dengan flow seperti itu. Sambil gambar sambil ngerekam. Tapi kalau mereka bisa harusnya kita bisa juga kan.. Hanya belum terbiasa aja (dan membiasakan itu yang susah😭).

Oke, sekian progres untuk caturwulan pertama bulan Januari-April 2024. Semoga bulan berikutnya rencana-rencana kita tercapai semua. Aamiiiin.

Let Sketchbook be Sketch-Book

Apa yang baru di dunia seni yang tidak ada di masa-masa sebelumnya? Menurutku itu adalah menjadikan sketchbook sebagai final art.

A look at da Vinci’s sketchbook

Sketchbook telah digunakan semenjak zaman Renaissance untuk membuat sketsa, catatan, dan sekedar coretan. Yang terlintas di pikiranku adalah sketchbook milik Leonardo da Vinci yang aku tahu terpengaruh dari film da Vinci Code. Hahaha. Di bawah ini beberapa sketchnya yang kudapat dari internet:

“The Vitruvian Man,” studi proporsi tubuh manusia
invention?
kaki kuda? part of objek yang mau digambar.
campuran tulisan, sketsa kuda, pose, lingkaran, tak lupa orang di kanan atas
unfinished sketch

Dari lima sketsa di atas, Kita bisa melihat bahwa sketsa dari Leonardo Da Vinci tidak jauh dari pensil, arsiran, part of something, just curiosity, dan lain-lain yang sama sekali bukan finished painting.

Finished painting buatan da Vinci yang paling terkenal adalah The Last Supper dalam 3 tahun. Dari jenisnya saja memang tidak mungkin dibuat dalam sketchbook, yaitu berbentuk mural dalam sebuah bangunan di Milan, Italia.

The problem

At the end, artist can draw and paint anywhere. Including in their own sketchbook. Lalu masalahnya apa?

Masalahnya adalah, kita butuh tempat untuk menuangkan pikiran kasar, bereksperimen, gagal tanpa dilihat orang lain, menyusun ide, dan semacamnya sebelum membuat sesuatu yang final.

Apalagi di era sosmed seperti saat ini yang sekali kita memposting our perfect sketchbook, akan menunggu untuk postingan perfect sketchbook kita berikutnya.

Jadi, kapan kita sempat bereksperimen?

Solution?

Dalam kelasnya di Skillshare, Hedof menyebutkan bahwa dirinya membuat sketsa di kertas hvs lembaran karena ia merasa lebih ada freedom dibanding membuat sketsa di sketchbook.

Lembaran-lembaran kertas itu kemudian ia kumpulkan (sepertinya dalam binder karena di kertasnya ada lubang) dan itu menjadi sumber-sumber idenya di kemudian hari.

Seketika itu aku langsung ‘klik’.

That’s what sketchbook should be for, right?

Ternyata bukan aku saja yang merasa tertuntut untuk punya sketchbook sempurna. Artist setara Hedof pun merasa yang sama, tapi kemudian dia secara tidak langsung memberikan ide sebuah solusi.

Ya, artists butuh tempat untuk rough idea. Tempat itu juga ga mesti sketchbook, tetapi juga bisa apapun yang membuat kita nyaman. Termasuk lembaran kertas-kertas yang nantinya akan kita bukukan seperti sketch book. Hehe.

Mungkin ide lain bisa juga sebuah buku polos yang kita anggap murah, yang bukan watercolor grade, di bawah 100 gsm, sehingga kita tidak merasa bersalah hanya mengisinya dengan coretan.

Ketika 30 Hari Berhenti Menggambar Tak Lagi Menjadi Beban

Halo semua! Pertama-tama selamat Idul Fitri untuk yang merayakan, yaa.. Hari ini kita sudah resmi selesai semua liburan dan sudah beraktifitas kembali seperti biasa.

Photo by Svitlana on Unsplash

So, hari ini aku akan cerita hal yang dulu paling mengganggu aku ketika selesai liburan: perasaan bersalah karena lama tidak berkarya.

Untuk case sekarang bukan hanya liburan, tetapi juga plus bulan Ramadhan yang mana lebih dari 30 hari (mungkin 40 hari plus libur lebaran ya, tapi aku bulatkan jadi 30 hari karena di awal Ramadhan masih sempat gambar).

Dulu, aku merasa bersalah banget dan jadi sulit memulai kembali. Beda dengan saat ini yang mungkin juga karena bertambah usia dan semakin bijaksana (hahaha) aku sudah berteori kalau ini hal yang wajar dan aku bisa mulai kembali di saat aku sudah siap.

Mengapa aku sharing cerita ini? Karena aku mau teman-teman yang kebetulan baca cerita aku jadi merasa tidak menyerah dan keep going pada waktunya.

Bagaimana kita sebagai ilustrator atau pelukis itu its oke kalau kita mau berhenti sejenak entah itu seperti bulan lalu ketika Ramadhan atau ketika entah kamu burned-out atau ada masalah lain atau agenda lain di dalam hidup. Oke-oke saja kalau kamu mau stop sejenak.

Mungkin karena aku membandingkan art creation dengan regular job yang mana kamu harus show up setiap hari dan itu menunjukkan keseriusan kamu dalam pekerjaan tersebut.

Mungkin juga karena ada banyak nasihat di luar sana kalau you must create something everyday if you want to succeed.

Lalu, kapan aku mulai tersadar kalau berhenti sejenak itu tidak apa-apa?

Pertama, seperti yang tadi aku bilang karena simply semakin dewasa kita semakin banyak pengalaman dengan dunia dan semakin mengenal diri sendiri. Setelah berkali-kali stop doing something, kesal sama diri sendiri kenapa sih aku berhenti, jadi unmotivated untuk memulai, untuk ujung-ujungnya kembali mengerjakan hal yang dulu aku tinggalkan sementara itu.

It would be simpler if I just accepted it as it is dan langsung mulai ketika siap tanpa ada perasaan menyesal.

Kedua, aku baru sadar kalau aku kemungkinan mengidap ADHD. Yang mana tidak jarang kamu temukan di dunia seni. Sebagai self-assessed ADHD aku semakin menerima diri sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangannya karena ini di luar kontrol diri.

Orang-orang dengan ADHD bisa completely lost interest in something they loved (for a moment) dan ga ada yang bisa memotivasi mereka untuk sekedar menyentuh sedikit. Yang nanti pada akhirnya, ujung-ujungnya, mereka akan menemukan kembali motivasi yang hilang itu.

So, Ramadhan telah usai dan saatnya semangat lagi untuk terus berkarya!

Analisis Affinity dan Canva Versus Procreate

Artikel ini adalah lanjutan dari artikel kemarin yang ga sanggup saya selesain kemarin.

Mengapa Procreate bisa bertahan dengan one time subscription?

Simak video mulai menit ke delapan disini:

Procreate adalah sebuah aplikasi menggambar yang diluncurkan pada tahun 2011. Keunikan Procreate dibanding pesaing yang lain karena fokusnya yang sangat kuat untuk perangkat iPad.

Saya pernah baca entah dimana kalau Procreate mendapatkan semacam kompensasi dari Apple. Saat itu saya ga terlalu tertarik jadi ga terlalu ingat juga detailnya, ya. Entah karena jumlah downloadnya atau karena Procreate khusus membuat aplikasi di Apple. Khususnya iPad.

Kemudian, Procreate leading di bidang software untuk menggambar di iPad dan dia memang fokusnya udah di iPad aja. Sehingga, dia bisa memaksimalkan potensi iPad sebesar mungkin untuk aplikasi Procreate.

Di satu sisi, ini menjadi satu kekurangan karena bila dibanding dengan beberapa aplikasi lain, seperti Adobe dengan Photoshop dan Fresco-nya, kamu bisa gambar di iPad lalu lanjut di desktop dan sebaliknya. Sedangkan di Procreate tidak bisa karena ia tidak punya aplikasi untuk desktop.

Akan tetapi, karena dia itu udah di iPad aja udah bagus banget, justru membuat orang-orang merasa ga perlu langganan Adobe kalau memang cukup untuk kegiatan menggambarnya dia. Bahkan ada loh ilustrator profesional yang bikin karyanya di iPad aja.

Alasan selanjutnya adalah Procreate itu sama seperti Adobe yang nge-leading di bidangnya sendiri. Orang-orang juga banyak yang memilih beli iPad dibanding tab lain, seperti Samsung tab dll ya karena di iPad ada aplikasi Procreate-nya.

Di forum-forum di dunia ilustrasi itu aku sering baca orang-orang yang beli iPad supaya bisa gambar di aplikasi Procreate. Nah, itu juga mungkin menjadi kompensasi tertentu ya dengan Apple. Jadi si Procreate ini punya pemasukan lain selain dari pembeli aplikasinya.

Ohya, pada 22 November 2023, Procreate sudah merilis aplikasi baru bernama Procreate Dreams yang merupakan aplikasi yang berfokus ke animasi. Harga one time purchasenya bisa dibilang murang dibanding aplikasi lain (apalagi ini one time purchase loh) di harga $19.99. Agak beda dengan Adobe Fresco yang menggabungkan animasi di Fresco, Procreate merilis aplikasi sendiri untuk animasi. Meskipun sebenarnya di dalam Procreate sendiri kita sudah bisa membuat animasi sederhana yang frame-by-frame. Aku sendiri belum coba Procreate Dreams ini karena masih banyak project yang harus dikerjakan di 2024 ini hahaha.

Sekian artikel kali ini. Semoga bermanfaat dan semakin berkualitas. See you soon!

Analisis Pasar Sofware Ilustrasi dari Case Affinity Diakuisisi Canva

Hai, semuanya! Sejujurnya, berita Affinity yang diakuisisi Canva ini membuat gue shock berat. Sebagai pengguna Affinity selama beberapa tahun belakangan (sebagai software cadangan kalau langganan Adobe habis wkwk), gue ga menyangka bakal ada akuisisi kayak gini. Apalagi dengan Canva. Gue beranggapan Affinity bakal istiqomah di jalur one-time purchase layaknya Procreate. Tapi ternyata tidak.

Apa itu Affinity

Affinity adalah sebuah program desain yang terdiri dari Affinity Designer, Affinity Photo, dan Affinity Publisher. Ketiga aplikasi tersebut setara dengan Adobe Illustrator, Adobe Photoshop, dan Adobe InDesign.

Affinity Designer pertama kali diluncurkan bulan Oktober 2014. Affinity Photo kemudian diluncurkan tahun 2015, lalu Affinity Publisher tahun 2019.

Berita Affinity diakuisisi Canva

Kebetulan, gue ikut dua grup facebook terkait Affinity dan Canva. Begitu di pagi hari buka Facebook, kaget sih pertama yang paling atas adalah kegalauan orang-orang di grup tentang berita tersebut.

Perbandingan dengan Adobe

Adobe didirikan pada 1982 (long before affinity). Adobe kemudian menjadi market leader dibidang industri software kreatif hingga saat ini.

Perihal payment, Adobe berubah menjadi subscription pada 6 Mei 2013 dengan memperkenalkan Adobe Creative Cloud (sebelumnya bernama Adobe Creative Suite).

Adobe hingga saat ini masih bertahan dengan subscriptionnya meskipun banyak yang kontra juga. Tapi pada akhirnya Adobe tetap kokoh sebagai subscription software.

Penyebabnya menurutku ada tiga. Pertama, karena Adobe adalah sofware awwalun dan sudah mendarah daging di dunia ilustrasi dan desain. Kedua, karena penggunanya sudah sangat banyak. Ketiga, karena sudah banyak tutorial dan course untuk mereka yang baru akan masuk ke dunia kreatif.

Apakah Affinity yang berkolaborasi dengan Canva dapat bersaing dengan cara yang sama?

Kalau Adobe dimulai dengan fan based yang besar di bagian software kreatif profesional, lalu merambah desain umum melalui Adobe Spark. Affinity+Canva sudah memiliki fan based yang sangat besar di dunia desain umum, baru berkolaborasi dengan Affinity yang targetnya adalah kreatif profesional. Meskipun, Affinity sudah memiliki pengguna loyal, tidak seperti Adobe Spark yang benar-benar baru.

Exciting juga sih meraba masa depan akuisisi ini. Agak berharap Adobe jadi punya pesaing yang mumpuni, tidak hanya seorang diri menjadi monopoli.

Kembali ke Children’s Book dan Editorial Illustration

Halo, semuanya! Di pekan ketiga bulan Maret ini, saya kembali tertarik ke bidang Children’s Books dan Editorial Illustration. Entah karena agak burn-out dengan menggambar icon vector atau ini adalah waktu yang tepat untuk kembali.

Ya, kembali. Karena beberapa awal mula ilustrasi saya adalah tentang buku cerita anak dan editorial. Honor pertama yang saya dapat pun adalah dari membuat sampel buku cerita anak dari klien luar negeri.

Ikut ulang kelas lama

Dari puluhan kelas yang saya ambil di Domestika pun, banyak diantaranya yang merupakan kelas buku cerita anak dan ilustrasi editorial. Mungkin ini juga saatnya saya menyimak kembali kelas-kelas tersebut, memerhatikan betul-betul, menulis ringkasan, dan menyelesaikan class projectnya

Berikut ini beberapa kelas di Domestika yang rencananya bakal saya visit ulang:

Semoga saja kesampaian untuk membuat portfolio yang mumpuni untuk keduanya. Sempat play beberapa video dan memang seperti menonton kelas baru aja saking sudah lamanya. Bahkan ada beberapa kelas yang dulunya bahasa spanyol saja, sekarang sudah ada bahasa inggrisnya.

Microstock vs book illustration

Kalau menganalisis mengapa saya meninggalkan bidang itu dan beralih ke stock vector, alasan yang paling utama adalah masalah waktu.

Buku cerita dan editorial menuntut kita untuk:

  • Berlomba dengan waktu. Jika di editorial mesti serba cepat, di children’s book waktunya lebih lama.
  • Ada klien yang memberi kita tugas tertentu, tidak bisa membuat ilustrasi yang hanya berdasarkan keinginan kita.
  • Ada pertanggungjawaban ke klien. Tidak mengenal sakit atau ada acara mendadak, pokoknya mesti sesuai target waktu. Kalau tidak, tentunya nama kita akan buruk.

Dengan alasan-alasan tersebut, beberapa tahun belakangan ini saya jadi lebih suka untuk membuat ilustrasi di microstock karena tidak terikat waktu ataupun target. Meskipun ada minusnya juga, ya, karena pendapatannya tidak pasti.

Yang pasti adalah saya sendiri juga belum yakin jalan apa yang akan saya ambil atau yang akan saya jadikan fokus. Saat ini hanya mencoba mengikuti naluri dan kata hati.. Sampai jumpa!

Budgeting sebagai Part-Time Illustrator

Write about your approach to budgeting.

Catat setiap pengeluaran dan pemasukan

Langkah pertama sebelum budgeting dan membuat new goals adalah terlebih dahulu tahu bagaimana kondisi keuangan kita.

Rachel Cruze mengatakan bahwa setidaknya kita butuh tahu history 3 bulan ke belakang sebelum bisa budgeting.

Selama 3 bulan itu juga bukan berarti bisa bebas belanja yah, tapi tetap hati-hati.

Bisnis itu artinya pemasukan lebih besar daripada pengeluaran

Kalau kita sudah memutuskan part-time (hopefully) untuk selanjutnya bisa jadi pekerjaan penuh, kita mesti memandang ilustrasi dan seni ini sebagai bisnis.

Satu indikator usaha kita sudah bisa dibilang bisnis adalah pemasukan lebih besar daripada pengeluaran.

Disini juga kita mesti memikirkan kalau dengan menjadi sebuah bisnis, art supplies, perlengkapan, software, dan embel-embelnya itu juga harus berkualitas profesional yang berpengaruh terhadap pengeluaran yang lebih besar.

Sebagai contoh, sebelum serius jualan ilustrasi, kita gambar menggunakan Procreate. Ketika sudah terjun lebih dalam, kita mesti menggunakan software yang lebih standar, seperti Photoshop dan Illustrator yang biayanya lebih besar dibanding Procreate yang one time purchase.

Tentu itu okay saja dengan harapan nantinya pemasukan yang kita dapat lebih besar dibanding penambahan pengeluaran yang kita lakukan.

Buat daftar perkiraan pengeluaran

Idealnya, perkiraan pengeluaran dibuat secara tahunan.

Pertama, kita list dulu pengeluaran yang sifatnya rutin. Jika ada langganan bulanan, maka dikalikan 12 dan jika ada langganan sesuatu per 3 tahun, maka dibagi 3.

Contoh:

  • langganan adobe Rp2.000.000
  • domain name Rp300.000
  • plugin astute graphic Rp2.500.000

Setelah ada pengeluaran rutin, selanjutnya adalah untuk pengeluaran yang tidak rutin.

Contoh:

  • beli sketchbook baru Rp500.000
  • cat akrilik Rp500.000

Terakhir adalah pengeluaran yang sifatnya investasi dan bisa membutuhkan waktu untuk menabung lebih dari 1 tahun.

Contoh:

  • upgrade ipad Rp16.000.000
  • huion display tablet Rp6.000.000

Buat gw, sebisa mungkin semua pengeluaran dibuatkan sinking fund terlebih dahulu. Fungsinya, selain menumbuhkan semangat menabung (cie..) juga membuat kita berpikir agak lebih lama dulu sebelum membeli sesuatu yang nantinya kita sesali.

Untuk nominal yang agak besar, gw buat investasi baru di aplikasi Bibit. Sedangkan untuk nominal yang lebih kecil dan kemungkinan akan dikeluarkan sekitar sebulan lagi, gw buat kantong baru di Jago.

Contoh sinking fund

Buat target pemasukan

Target pemasukan bisa dibagi menjadi dua:

  1. berdasarkan data sebelumnya yang sudah ada
  2. berdasarkan target perkiraan dari data kasar

Poin pertama, berarti kita pribadi sudah pernah mendapatkan hasil sejumlah tertentu dari sumber tersebut. Misalnya, tahun lalu dengan punya 500 aset, gw bisa dapat kurang lebih Rp500.000 per bulan. Berarti, kalau mau dapat Rp1.000.000 per bulan, gw mesti punya 1.000 aset. Kalau mau dapat Rp3.000.000 per bulan, gw mesti punya 3.000 aset.

Poin kedua, berarti kita baru mau mulai terjun ke bidang tersebut. Kita tidak punbya pengalaman dan data di bidang tersebut, kita tidak tahu kemampuan kita sejauh mana di bidang itu. Misalnya, ada yang bilang di Spoonflower kita bisa dapat 1.000.000 sebulan dengan 50 pattern. Tapi, bisa jadi kalau kita punya 50 pattern, kita mendapat kurang atau lebih dari jumlah itu. Bisa jadi hasil pattern yang kita upload kurang sesuai dengan selera market. Meskipun ada kemungkinan jika beruntung, kita mendapat nominal yang lebih besar.

See you!

Break the Law Like Picasso

Have you ever unintentionally broken the law?

Breaking the law adalah salah satu ‘konsep’ di seni dan ilustrasi yang kerap dijadikan acuan seberapa profesionalnya kamu.

Semakin ahli dalam melanggar aturan berarti semakin ahli.

Namun, di seni, melanggar aturan berarti harus mengerti aturannya terlebih dahulu. Kamu tidak bisa melanggar aturan tanpa paham luar dalam aturan-aturan yang ada sebelumnya.

Pablo Picasso terkenal dengan kontrasnya karya seni beliau antara awal karir versus masa matang hingga dewasanya.

Kita bisa lihat hebatnya Picasso di usia 14 tahun yang sudah bisa membuat oil painting realistis yang menjadi standar pelukis tahun 1900-an. Keahlian yang tidak bisa disangkal lagi kan. Pastinya mengagetkan untuk orang-orang yang hanya tahu gambar Picasso yang geometris. Bertanya-tanyalah mereka kok bisa?

Dari gambar di atas juga terlihat bagaimana perubahan breaking the law yang Picasso lakukan dari tahun ke tahun. Awal mula yang sangat realistis, menuju agak abstrak (masih ada anatomi yang terlihat), hingga anatomi yang sudah tidak sesuai kenyataan lagi.

Buat mata orang awam, setidaknya dari beberapa komentar di Facebook yang aku pernah baca, orang-orang banyak yang bingung mengapa ‘kualitas’ lukisan Picasso di awal karir yang jelas realistis justru tidak terkenal dibanding lukisannya yang geometris? Banyak pula orang yang bilang kalau lukisan Picasso itu gampang ditiru oleh anak kecil sekalipun.

Yah, meskipun apapun kata orang, buktinya karya Picasso yang dibilang mirip gambar anak-anak itulah yang laku jutaan dollar. Mau bilang apa mereka?

Kalau kita bisa telaah dari masa kini, mengapa lukisan tersebut bisa berharga mahal, justru karena Picasso sudah tahu luar dalam tentang melukis yang ‘benar’ sesuai standar. Lalu kemudian ia melanggar aturan-aturan tersebut untuk membuat sesuatu yang fresh.

Sisi yang lain lagi, kini, banyak seniman yang meniru geometris dan abstraknya lukisan Picasso tanpa tau apa ‘standar’ yang ‘benar’. Mereka tidak tahu apa yang mereka langgar. Jadi, ya, hasil melanggar aturan kita tidak bisa dibandingkan ketika 100 tahun yang lalu Picasso melanggar aturan.

Mau melanggar aturan? Breaking the law like Picasso jawabannya.

Bagaimana Berlalunya Waktu Memengaruhi Perspektif Hidup

Prompt tulisan harian
Bagaimana peristiwa hidup penting atau berlalunya waktu memengaruhi perspektif Anda dalam hidup?

Prompt menarik. Ada dua pertanyaan, aku pilih pertanyaan kedua tentang bagaimana berlalunya waktu memengaruhi perspektif hidup. Di usia 30, mostly ups and downs kehidupan sudah dijalani. Mulai dari masa anak-anak, remaja, sekolah, teman, konflik, beberapa sudah menikah, punya anak, memiliki pekerjaan.. Paling tidak ada satu dua hal yang kita bisa ambil setelah melalui dekade ketiga kehidupan ini.

Photo by Clay Banks on Unsplash

Apa yang penting, apa yang tidak penting

Di usia 30, aku mulai bisa memilah apa yang penting dan apa yang tidak penting. Semakin bertambah tahun, semakin mengerucut pula apa yang benar-benar berarti dan apa yang it’s okay untuk ditinggalkan.

Contohnya, dulu aku sudah suka gambar, di usia 20-an sempat agak serius, dan baru di usia 30-an ini baru memutuskan kalau ini sesuatu yang penting untuk dilanjutkan, bahkan mungkin juga bisa menjadi profesi masa depan.

Urusan sosial juga begitu. Dulu, aku suka ikut ini, ikut itu, karena tidak mau ketinggalan. Sekarang? Kalau tidak merasa diterima, tidak merasa butuh, atau ada self-need lain yang lebih penting, aku memilih untuk tidak melakukan. Bukan sesuatu yang penting.

Untuk target tulisan KLIP juga aku yakin hanya berlomba dengan diri sendiri. Tidak peduli apakah akan masuk 19 besar kategori tertentu atau tidak. Pokoknya, tujuan aku hanyalah untuk merutinkan menulis, yang untuk saat ini targetnya adalah 10 artikel per bulan. Kalau diriku yang dulu, aku pasti akan menargetkan menjadi 10 besar minimal di satu kategori. Tidak peduli sebelumnya sudah menulis rutin atau belum. Dan, bakalah stop menulis ketika target itu tidak tercapai. Saat ini? No. Aku hanya berusaha untuk memacu diri di lintasanku sendiri.

Lebih punya pendirian

Sebelum usia 20, hidup aku terasa datar-datar saja. SD, SMP, SMA, lanjut kuliah. That’s itu.

Ketika usia 22 tahun ke atas baru mulai terasa banyaknya pro kontra di sana sini. Banyak keputusan-keputusan yang perlu aku ambil, yang tidak semuanya menyenangkan semua orang.

Awalnya sih suka terbawa ombak, berubah keputusan, emosi naik turun, lama kelamaan aku jadi lebih bodo amat dengan yang lain.

Keputusan tidak kerja kantoran lagi, keputusan punya sekian anak, hingga keputusan sehari-hari seperti makan apa, masak apa, bisa menjadi faktor ke-pusing-an yang terus menerus.

Kalau kamu sedang menjalani masa-masa itu, yakin saja bahwa kamu bisa lebih teguh pendirian di waktu selanjutnya.

Lebih bijaksana

Pastinya, seiring dengan banyaknya pengalaman, kita bisa semakin menilai baik buruknya sesuatu.

Salah satu yang paling membuatku bijaksana, lebih dari pada tahun-tahun dahulu adalah tentang karma. Tidak tahu kenapa, sepertinya buruknya apa yang aku lakukan bisa terasa balasannya. Hahaha. Makanya, sebisa mungkin aku berusaha berbuat baik, melakukan yang benar meskipun terasa merugikan, dan lebih santai ketika menghadapi musibah.

Tiga poin itu saja yang terpikir untuk saat ini. Intinya, semoga ‘tua’, perspektif hidup kita menjadi lebih baik. Aamiiin.

Target saat ini

Menuju 2020, sudah terpikir hal-hal yang mungkin bakal kuprioritaskan untuk tahun depan. Yang pasti, aku bakal banyak belajar, mengerjakan project, dan menghasilkan karya. Juga rutin upload di instagram dan di blog. Untuk yang mungkin ga akan aku lakukan tahun depan adalah monetisasi, seperti promosi portrait painting, jual art print (yang tadinya mau kulakukan tahun ini), dan hal-hal semacam itu.

Mungkin kalau ada yang ngajak kolaborasi boleh juga. Intinya sih tahun depan mau banyak belajar dan praktik.